Saya Beragama Islam, Bukan “Beragama” Koperasi
/0 Comments/in Artikel, Berita/by administratorOleh: Iwan Rudi
Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD
(Pakar Koperasi dan Keuangan Mikro Syariah)
Membaca judul tulisan ini, bisa jadi ada yang menganggap saya lebay. Namun, tulisan ini saya buat bukan tanpa dasar namun berdasarkan fenomena yang terjadi di kalangan para aktivis koperasi. Berikut ini adalah contohnya. Pada suatu ketika, saya menanyakan kepada seorang teman, apa yang akan ia usulkan pada rapat anggota (RA), koperasi dengan sistem keuangan syariah atau konvensional. Kebetulan ia akan mengikuti RA untuk pendirian sebuah koperasi, di mana ia sebagai salah satu anggota (pendiri).
Ia menjawab bahwa menggunakan sistem syariah atau tidak, akan diserahkan kepada hasil RA. Ia menambahkan bahwa ia tahu dalam Islam ada sistem keuangan syariah, namun dalam koperasi, kekuasaan tertinggi ada pada RA.
Jujur, saya keheranan atas jawaban tersebut. Yang saya tanyakan adalah apa yang akan ia usulkan. Saya tidak bertanya apa hasil rapat anggotanya. Keheranan saya bertambah karena teman saya itu adalah seorang muslim. Ternyata hanya untuk sekedar mengusulkan saja, tidak ada rencana, apalagi tekad untuk memperjuangkannya. Padahal, bagi seorang muslim sudah seharusnya menempatkan Islam di atas segalanya, termasuk koperasi. Prinsip, jati diri, filosofi dan hal-hal terkait koperasi posisinya berada di bawah Islam. Seorang muslim tidak berdosa ketika tidak berkoperasi, namun ketika melaksanakan ekonomi konvensional, maka ia akan berdosa.
Pemikiran, pendapat, teknologi, budaya, kebiasaan, dari non muslim, tidak terlarang diadopsi oleh kaum muslimin selama itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun perlu filter sehingga tidak mentah-mentah diterima apalagi menjadi rujukan utama di atas rujukan Islam. Menerapkan koperasi tidak bisa apa adanya sebagaimana yang dilakukan oleh perintis koperasi, baik koperasi dunia ataupun koperasi Indonesia (M.Hatta misalnya).
Seperti halnya konsep, teknologi, pendapat atau ciptaan manusia lainnya, perkoperasian bukanlah harga mati bagi seorang muslim. Hal itu karena perkoperasian merupakan pendapat manusia yang selalu berpotensi ada kelemahan. Selain itu, sebagai sebuah konsep buatan manusia, maka dimungkinkan konsep bahkan ideologi perkoperasian akan redup diganti dengan yang baru yang lebih baik.
Sebagai contoh, pada HP, sebelumnya Blackberry merupakan teknologi terdepan, sehingga mayoritas penduduk dunia menggunakannya. Namun saat ini, android unggul dan teknologi Blackberry tersisihkan. Demikian juga dengan koperasi. Saat ini, yang dinilai dapat memberdayakan masyarakat lapis bawah dan berkerakyatan adalah koperasi. Namun bisa jadi pada masa yang akan datang ada inovasi lain selain koperasi yang justru jauh lebih memberdayakan, yang bisa jadi benar-benar lahir dari pemikiran Islam dan dirintis oleh muslimin.
Oleh karena itu, jangan terbawa-bawa menjadi pejuang fanatik perkoperasian, cukup sewajarnya saja. Misalnya jangan terlalu fanatic sehingga memandang koperasi adalah satu-satunya model yang benar, sementara PT, CV atau bentuk-bentuk yang lainnya merupakan konsep yang sesat. Koperasi, sama halnya seperti PT, hanyalah pilihan yang bisa berubah atau dipakai sementara saja di dunia.
Bagi seorang muslim, yang harus menjadi perhatian (concern) adalah apakah organisasi atau perusahaan yang dijalankan sesuai syariah Islam atau tidak. Sedangkan tentang berkoperasi atau tidak, apakah open loop atau closed loop, memilih PT atau yang lainnya adalah bersifat sekunder. Tulisan ini bukan lebay, namun dibuat karena faktanya saat ini ada orang yang begitu mendarah daging tentang perkoperasian, KTP-nya Islam, namun tentang keuangan syariah malah cenderung antipasti.
Penyunting: Muhammad Nur Bintang Saputra
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!