Selamat Datang di Era Attention Economy

Oleh: Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD (Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah)

Telah terjadi disrupsi sumberdaya bernilai ekonomi tinggi. Sebelumnya, yang disebut sebagai sumberdaya yang bernilai adalah adalah yang bersifat materi. Awalnya adalah sumber daya alam, seperti hasil pertanian, peternakan dan perikanan, juga hasil tambang seperti minyak bumi, batubara, emas dan sebagainya. Dengan revolusi industri, maka sumberdaya yang bernilai ekonomi tinggi bergeser ke hasil olahan mulai dari yang sederhana seperti tekstil hingga berteknologi tinggi seperti HP, komputer dan peralatan canggih lainnya.

Masa tersebut sudah berlalu, kini kita sudah hidup di era di mana yang bernilai ekonomi tinggi adalah sumberdaya yang tidak bersifat materi. Diawali dengan berkembangnya teknologi informasi yang kemudian diikuti digitalisasi, maka nilai ekonomi data kemudian menduduki puncak tertinggi. Ada slogan, “Data is the new oil.” Namun, era data sebagai raja mulai bergesar ke sumberdaya yang lain, yakni attention  (atensi), sehingga kita masuk ke era Attention Economy.

Istilah  Attention Economy, sebenarnya sudah lama muncul, namun wujud nyatanya baru benar-benar terasa di dekade ini. Goldhaber (1997) menjelaskan ekonomi dunia telah mengalami suatu pergeseran dari ekonomi berbasis materi menjadi ekonomi berbasis atensi.

 

Apa yang dimaksud dengan ekonomi berbasis atensi?

Contoh sederhana adalah Atta Halilintar. Mengapa dia bisa menjadi milyuner? Karena konten-kontennya bisa menarik atensi.  Saat ini, apa yang ada di media-media sosial dan internet, secara umum bermuara untuk mendapatkan atensi sebanyak-banyaknya.  Setelah mendapatkan atensi yang banyak, maka telah telah menjadi tambang uang. Panen uang dari melimpahnya atensi diantaranya diperoleh melalui: iklan, sponsor konten, langganan premium, donasi content creator, penjualan data, kemitraan dengan brand, dan lain-lain.

Baca Juga  Pancasila dan Koperasi Syariah

Dulu, kita menaman pohon buah, memanennya, menjual buahnya barulah mendapatkan uang. Saat ini, di era ekonomi atensi, maka prosesnya adalah membuat konten, memanen atensi, lalu menjualnya untuk mendapatkan uang.

Karena sekarang atensi sudah menjadi sumberdaya paling berharga di dunia ini, maka para politikus pun berusaha menguasai sebanyak mungkin sumberdaya ini.  Konon di sebuah negara berkembang, salah satu politikus yang berkuasa hingga dua periode, begitu giat memelihara para produsen atensi yakni para influencer, pegiat sosial media dan lain-lain.  Hasilnya bisa kita lihat, betapa berkuasanya ia, bahkan hingga turunannya!

Dengan telah adanya pergeseran dari ekonomi berbasis materi ke ekonomi berbasis atensi, maka gerakan dakwah pun perlu menggeser penguasaan sumberdayanya. Sebelumnya, pesantren dan gerakan dakwah banyak berinvestasi di sektor pertanian dan perikanan, termasuk gerakan wakafnya. Itu tidak perlu ditinggalkan namun perlu juga mengikhtiarkan secara maksimal untuk memiliki dan menguasi sumberdaya yang bisa menghasilkan atensi sebanyak-banyaknya, misalnya dengan adanya channel-channel di berbagai media sosial dengan atensi yang bagus yang untuk itu tentu saja diperlukan SDM-SDM yang mumpuni di bidangnya.

Apakah tulisan ini menjadi atensi Anda juga?

   Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD (Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah)