Kembalinya Keuangan Syariah Si Anak Hilang

Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD

Seorang bapak menjabat erat tangan saya dengan ekspresi haru dan gembira, seolah menemukan “anak yang hilang”.

“Ini yang saya cari dan tunggu selama ini. Kami memang butuh bantuan permodalan, namun yang kami inginkan adalah yang seperti ini, sesuai syariah.”Ujar seorang bapak  berusia lanjut saat penulis selesai mempresentasikan keuangan mikro syariah (KMS) di sebuah Balai Desa.

Ia kemudian menyampaikan bahwa dulu sebenarnya banyak warga yang menolak adanya lembaga keuangan berbasis bunga, termasuk program pemberdayaan dana bergulir dengan sistem bunga. Namun tidak terasa, sistem bunga yang awalnya ditolak dengan keras tersebut kemudian menjadi hal yang biasa.

Kisah nyata tersebut saya temui di Sumatera Barat saat mensosialisasikan pilot project KMS pada suatu program nasional pemberdayaan masyarakat. Tak hanya itu, kisah serupa seperti yang Bapak dari Sumater Barat sampaikan juga diceritakan oleh beberapa rekan sesama konsultan pemberdayaan, untuk kisah di tempat lain. Salah satunya adalah yang pernah bertugas di Aceh, ia bahkan sempat dikurung dalam suatu ruangan oleh masyarakat di sana, gara-gara mensosialisaikan pinjaman dengan sistem bunga. Rekan konsultan pemberdayaan lain, yang pernah bertugas di Banten menceritakan bahwa ia sering datang pada suatu pertemuan yang sudah dijanjikan, namun saat ia tiba di lokasi, tempatnya kosong, tanpa kehadiran masyarakat. Rupanya ada boikot dari masyarakat karena pada acara tersebut akan disampaikan tentang dana bergulir dengan sistem bunga.  Para rekat konsultan tersebut kemudian bercerita bahwa meski mendapat tantangan hebat seperti itu, mereka tidak pantang menyerah dan berhasilkan mensosialiasikan dan menjalanakan program dana bergulir dengan sistem bunga.

Baca Juga  STRATEGI MENYEMBUHKAN TRAUMA BERKOPERASI UNTUK MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

Cerita yang lebih “heroik” penulis peroleh secara tidak langsung di Bengkulu. Saat itu penulis tengah mensosialisasikan KMS di Kota Bengkulu, pimpinan tim konsultan wilayah tersebut menyampaikan permohonan maaf karena ada satu fasilitator ekonomi yang tidak hadir karena kecewa dengan adanya sosialisasi program KMS.  Salah satu yang diduga menjadi penyebab ketidakhadirannya adalah karena fasilitator kecewa dengan adanya sosialisasi program KMS.  Fasilitator tersebut telah berjuang dengan sangat keras sehingga program pinjaman bergulir dengan sistem bunga tersebut bisa berjalan di Bengkulu. Sebelumnya, beberapa tahun di awal program pemberdayaan, kegiatan dana bergulir di kota Bengkulu sulit diterima masyarakat karena ada seorang ustadz berpengaruh yang menentangnya.  Dalam kurun waktu yang lama, dengan segala pendekatan, akhirnya ustadz tersebut bisa “ditaklukan” sehingga program dana bergulir dengan sistem bunga bisa berjalan hingga saat ini.

Kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa sistem keuangan konvensional (berbasis bunga) sebenarnya sesuatu yang asing (datang dari luar) dan bahkan awalnya banyak ditolak oleh masyarakat. Namun karena adanya para “pejuang” keuangan konvensional yang militan sehingga bisa terlaksana di masyarakat. Ini baru yang sifatnya pemberdayaan, tentu proses penetrasi dan penerapan keuangan konvensional yang komersil lebih dahsyat lagi karena didukung oleh pendanaan yang banyak dan infrastuktur yang lebih bagus.

Mungkin kisah-kisah tersebut hanya sebagian kecil saja yang penulis ketahui, karena penulis tidak melakukan penggalian informasi bahkan penelitian tentang rintisan sehingga pinjaman berbasis bunga diterima oleh masyarakat Indonesia. Bisa jadi banyak cerita yang lebih “heroik” tentang bagaimana sistem bunga disebarkan di Indonesia, sehingga saat ini tidak ditolak malah dirasa sebagai hal yang biasa, atau paling tidak menyatakan bahwa sistem bunga dan syariah sama sama.

Baca Juga  KOPERASI AROMA - Membangun Sejahtera Bersama Dalam Keberkahan dan Kemuliaan

Kisah para pejuang “keuangan konvensional” di awal tulisan ini, membuat penulis malu sehingga merasa masih perlu meningkatkan daya juang untuk lebih mensyiarkan keuangan syariah. Apalagi bila melihat data yang dirilis pada tahun 2022, hasil survey OJK menunjukkan bahwa tingkat literasi ekonomi dan keuangan Indonesia adalah 9,14% sedangkan tingkat inklusi keuangan syariahnya 12,1 %.  Sangat miris, karena angka ini terpaut jauh dengan fakta bahwa lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam.

Penulis berharapan, suatu saat disalami kembali dengan ekspresi gembira oleh seorang bapak dengan kalimat,”Alhamdulillah sekarang masyarakat sudah kembali menggunakan keuangan syariah, dan anti keuangan konvensional.” Yang ia terima bukan lagi sekedar sosialisasi (rencana), namun berita bahwa keuangan syariah, telah kembali. Keuangan Syariah, si anak hilang, telah kembali!

   Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD (Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah)