Zakat Online : Bukan Sekedar Alternatif di Masa Pandemi

Hatta Syamsuddin, Lc., MA

Empat bulan lebih setelah covid19 pertama kali ditemukan di negeri ini, telah banyak perubahan dalam prilaku dan interaksi sosial di masyarakat kita. Meski saat ini tengah digaungkan New Normal, namun ancaman penyebaran Covid19 masih relatif tinggi, maka masih banyak aktifitas yang hari ini masih terus secara daring atau online. Masalah pendidikan contohnya, keputusan bersama empat mentri menyebutkan tentang larangan memulai pendidikan tatap muka hingga akhir tahun nanti, kecuali bagi mereka yang di zona hijau, dibolehkan tetapi itupun dengan syarat yang relatif ketat. Selain pendidikan, perilaku atau gaya hidup online mulai menjamah banyak sektor yang mungkin dahulu tidak terbayangkan. Dari mulai agenda rapat online, Halal bihalal online, seminar dan kajian online, hingga kursus online intensif pun sudah mulai menghiasi time line media sosial kita, dan berubah menjadi sesuatu yang biasa.

Tentu saja dengan aneka perkembangan tersebut, juga mulai bermunculan pertanyaan terkait hukum dan pandangan fiqih seputarnya. Sebut saja jual beli online, yang saat ini tentu menjadi semakin digemari, maka  banyak menyisakan ragam pertanyaan seputar hukum transaksinya. Seperti jual beli Logam Mulia misalnya, yang dilirik banyak orang terlebih saat pandemi ini dalam rangka menjaga nilai harta kita, menyisakan banyak pertanyaan yang terulang berulang di banyak media sosial, seperti : hukum jual beli emas dengan kredit, hukum jual beli emas dengan online, dan lain sebagainya.

Membayar zakat dengan online, termasuk salah satu yang sering ditanyakan dalam hal ini. Apalagi dalam masa pandemi dimana banyak orang yang tetap berdiam di rumah dalam rangka memutus rantai penyebaran covid19, pertanyaan tersebut menjadi semakin sering berulang. Belum lagi saat jelang akhir Ramadhan lalu banyak digaungkan di media sosial tagar terkait Hari Zakat Online Nasional (Harzolnas).

Untuk membahas seputar hukum membayar zakat online dari sisi fiqih, ada empat hal yang perlu dicermati agar kita mendapatkan gambaran yang lebih utuh dalam masalah ini.

 

Pertama, membayar zakat dengan nilai barang dan uang, biasanya ini sering menjadi perdebatan saat  zakat fitrah, meskipun dari sisi objek zakat mal yang lain juga bisa berlaku. Pembayaran dengan online, baik via transfer bank biasa, atau melalui saldo e-money, atau dompet digital seperti OVO, Gopay dan lain-lain sejatinya adalah membayar dalam bentuk “nilai”, karenanya bahasan fiqih seputar hukum membayar zakat dengan nilai atau uang menjadi penting dikaji pertama. Dalam hal ini sejak dahulu kita ketahui pandangan jumhur ulama tidak membolehkan, kecuali hanya Abu Hanifah. Namun dalam perjalanan zaman ternyata pendapat Abu Hanifah saat ini dirasa lebih memudahkan dan menyelesaikan permasalahan. Disebutkan oleh Muhammad Az-Zuhaili dalam kitab al-Mu’tamad fil Fiqhisy Syafi’I :

“Hari ini tidak ada larangan untuk mengambil pendapat beliau (imam Abu Hanifah). Sebab, lebih bermanfaat bagi para fakir miskin sekarang dan lebih bisa mewujudkan tujuan dari syariat zakat fitrah itu sendiri, yaitu memberi kecukupan kepada fakir miskin.”. Jadi dengan demikian, boleh membayar zakat dengan nilai atau uang, sekarang masalah berikutnya terkait cara pembayaran secara online.

Baca Juga  Saya Beragama Islam, Bukan “Beragama” Koperasi

Kedua, terkait metode transfer ke bank atau melalui aplikasi, apakah dengan membayar metode ini sudah memenuhi definisi syarat dalam fiqih yaitu Al-Qabdhu (penguasaan atas kepemilikan barang/harta/uang). Dalam hal ini kita bisa melihat pandangan Mujamma’ Fiqih Islami yang menyatakan bentuk transfer atau mengisi langsung ke rekening bank seseorang hari ini sudah memenuhi syarat Al-Qabdhu dalam ragam transaksi muamalah, termasuk tentu diantaranya adalah zakat. Tentu saja dalam hal ini diharapkan kita bisa lebih memprioritaskan penggunaan bank syariah dibandingkan bank konvensional. Disebutkan dalam Fatwa Syeikh Bin Baz : “Jika memungkinkan menggunakan transfer melalui bank syariah atau melalui cara yang mubah lainnya, maka tidak boleh menggunakan metode bank konvensional”.

Ketiga, Permasalahan Ijab Qabul dalam zakat. Biasanya orang membayar zakat dengan bertemu langsung, kemudian menyerahkan dana dengan mengikrarkan zakat, lalu amil zakat menerima dan kemudian mendoakan para muzakki. Dalam konteks pembayaran online tentu hal ini tidak dimungkinkan, sehingga pertanyannya apakah dengan demikian tidak terjadi ijab qabul dalam hal ini dan bagaimana hukumnya ?. Perlu diketahui bahwa Ijab Kabul menjadi bagian penting dan rukun dalam sebuah akad secara umum, khususnya terkait transaksi muamalah bernilai bisnis. Adapun dalam transaksi sosial semacam zakat ini, maka kejelasan ijab kabul bukanlah menjadi syarat sah dalam pelaksanaan zakat itu sendiri. Dalam hal ini kita bisa mengambil istifadah apa yang dituliskan Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqih Zakat : “Seorang pemberi zakat tidak harus menyatakan secara eksplisit kepada mustahik bahwa dana yang ia berikan adalah zakat. Oleh karena itu, apabila seorang muzakki (pemberi zakat) tanpa menyatakan kepada penerima zakat bahwa uang yang ia serahkan adalah zakat, maka zakatnya tetap sah”.

Keempat, mengalihkan zakat ke wilayah lain di luar wilayah tempat tinggal muzakki. Pembayaran online biasanya identik dengan mengalihkan zakat ke luar wilayah tempat tinggal muzakki, bahkan bisa lintas batas antar negara, seperti pembayaran zakat untuk kepentingan pengungsi di Palestina, Suriah, Rohingya dan lain sebagainya. Maka tentu pertanyaan yang muncul apakah hal ini dibolehkan?.  Ibnu Taimiyah menegaskan dalam Fatawa Al Kubro, bahwa melarang penyaluran zakat ke daerah lain itu tidak didukung oleh dalil syar’I, beliau menyatakan : ” “Menyatakan tidak bolehnya menyalurkan zakat ke daerah lain yang sudah dibolehkan mengqashar shalat di sana tidaklah didukung oleh dalil syar’i. Tetap boleh saja menyalurkan zakat ke daerah lain, juga untuk hal semisal zakat jika ada alasan syar’i.” Jadi, secara sederhana para ulama membolehkan, dengan syarat ada kebutuhan dan maslahat terkait pemindahan tersebut. Sebagaimana dijelaskan beberapa alasan pembolehan oleh syeikh Utsaimin : “Adalah boleh seseorang memindahkan zakatnya dari negerinya ke negeri lain jika ada maslahat. Jika seorang mempunyai kerabat mustahiq di negeri lain, kemudian dikirim zakatnya ke sana maka tidak mengapa. Juga ketika tingkat kesejahteraan hidup di suatu daerah lebih tinggi, lalu penduduknya mengirim ke negeri lain yang lebih banyak fakir miskinnya, maka itu juga tidak mengapa. Namun jika tidak ada maslahat sama sekali, maka tidak perlu zakat dipindahkan.”

Baca Juga  Kembalinya Keuangan Syariah “Si Anak Hilang”

Dengan mencermati empat bahasan di atas, dan sebagaimana juga sudah disebutkan oleh para ulama hari ini, maka pembayaran zakat secara online adalah dibolehkan, dan bahkan dalam beberapa hal ini menjadi sarana yang memudahkan para muzakki, terbukti pada masa pandemi hal semacam ini justru menjadi kebutuhan.

Untuk menyempurnakan kebolehan pembayaran zakat online, menurut Dr. Irfan Syauqi Beik, Direktur Pendistribusian dan Pendayagunaan Baznas Pusat menyampaikan setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para muzakki ; Pertama, skema pembayaran harus jelas menampilkan pilihan dalam aplikasi, yang membedakan apakah itu untuk zakat, infak, wakaf atau hal lainnya. Kedua, kejelasan lembaga zakat yang dituju, hendaknya memperhatikan aturan pemerintah dalam hal ini yaitu hanya BAZNAS atau LAZ yang legal saja yang sah untuk mengumpulkan zakat. Ketiga, ada tujuan nomor rekening yang jelas milik lembaga tersebut. Dan keempat, lembaga zakat harus memberikan notifikasi yang dikirimkan kepada muzakki atas pembayaran zakat tersebut. Notifikasi tersebut selain memuat tentang bukti setor zakat sebagaimana diatur dalam undang-undang, juga bisa berisi doa untuk muzakki sebagai bentuk kesempurnaan dan etika. Jika kita perhatikan, empat hal di atas merupakan sisi yang penting untuk dipenuhi, agar para muzakki juga mendapatkan kenyamanan dalam pembayaran zakat melalui online.

Kita tutup bahasan ini dengan mengungkap bahwa dalam pembayaran zakat online juga ada beberapa keuntungan yang bisa menjadi pertimbangan, diantaranya : Pertama, memudahkan muzakki untuk mengenal platform dan produk lembaga zakat terlebih dahulu secara lebih mendalam sebelum membayat zakat. Kedua, memudahkan para muzakki untuk membayar zakat kapan saja dan dimana saja, khususnya dalam keterbatasan masa pandemi tentu hal ini menjadi sangat bermakna. Ketiga, memudahkan lembaga zakat dalam mengolah data update real time, dan membuat laporan keuangan zakat secara transparan. Keempat, mempercepat lembaga amil zakat dalam menyalurkan dana kepada para mustahiq, karena penerimaan lebih cepat dan terupdate.

Akhhirnya, dari sisi  keuntungan ini sejatinya kita bisa membayangkan, bahwa kedepannya skema pembayaran zakat secara online sejatinya bukan saja sebagai alternatif keterbatasan gerak di masa pandemi, tetapi juga pada waktunya ini menjadi “gaya hidup” baru dalam berzakat, khususnya bagi kaum millenial. Dan itu berarti insya Allah akan berpotensi meningkatkan jumlah penerimaan zakat secara umum. Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam bisshowab.