Pandangan Fikih Tentang Gadai Emas

_________
Telah terbit di Koran Republika Jumat, 18 Desember 2020, hal. 6

Oleh : Dr. Oni Sahroni, MA

Pertama, gadai emas merupakan produk pembiayaan dengan jaminan emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat. Selain bank syariah dapat memenuhi kebutuhan banyak nasabah akan dana tunai, produk ini juga memberikan manfaat bagi bank.

Gadai emas menjadi salah satu alternatif produk dana tunai di Indonesia karena dari aspek fikih (akad) produk tersebut memberikan solusi. Hal ini karena fitur-fitur bank syariah berbasis jual-beli, sewa, dan bagi hasil, yang tidak memperkenankan bagi bank syariah untuk mendapatkan keuntungan saat memberikan dana tunai sebagai pinjaman (qard hasan).

Sebab, saat produk yang dikelola berbasis jual-beli/sewa maka harus ada barang/jasa yang diperjualbelikan. Begitu pula saat bagi hasil yang digunakan, maka harus ada usaha riil yang dibiayai. Dengan produk gadai emas ini, nasabah bisa mendapatkan dana tunai dengan cara yang halal walaupun tanpa syarat peruntukan barang atau jasa.

Dari segi kompetitor (pembanding), bank konvensional mudah memberikan dana tunai karena semua fiturnya berbasis kredit. Sedangkan, bank syariah punya kesulitan saat produk yang digunakan berbasis jual-beli, sewa, atau bagi hasil. Oleh karena itu, dengan gadai emas, bank syariah dapat memberikan dana tunai sebagai qardh.

Selain itu, dari sisi regulasi, bursa komoditas syariah di Indonesia belum beroperasi sehingga penyediaan dana tunai berbasis tawarruq belum bisa diaplikasikan.Berbeda dengan bank syariah di luar negeri, seperti Arab Saudi dan Malaysia, penyediaan dana tunai dilakukan dengan menggunakan bursa komoditas syariah yang sudah beroperasi (skema tawarruq).Dengan keterbatasan tersebut, gadai emas menjadi salah satu solusinya.

Baca Juga  Kegagalan Memahami Filosofi Koperasi

Kedua, pendapatan bank syariah dalam gadai syariah berupa ujrah (fee) atas jasa penyimpanan emas yang dilakukan oleh bank diperbolehkan dengan syarat besaran fee tersebut tidak didasarkan pada pembiayaan (qardh)yang diberikan, tetapi didasarkan pada biaya penyimpanan emasnya.

Sebagaimana Fatwa DSN MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas, Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun)ditanggung oleh penggadai (rahin).Ongkos sebagaimana dimaksud besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Sebagaimana Fatwa DSN MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn (al-tamwil al-mautsuq bi al-rahn), Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena peminjaman uang (akad qardh), maka pendapatan murtahin hanya berasal dari mu’nah (jasa pemeliharaan/penjagaan) atas marhun yang besarnya harus ditetapkan pada saat akad sebagaimana ujrah dalam akad ijarah.

Seperti halnya A meminjam uang Rp 40 juta kepada B dengan jaminan emas 50 gram. Maka si A membayar feeatas jasa penyimpanan emas yang menjadi jaminan tersebut.

Ketiga, dari aspek syariah, memastikan model penghitungan ujrah menjadi penting agar angsuran tidak didasarkan pada kredit karena itu praktik riba yang diharamkan.Model simulasi untuk menghitung berapa besaran feeyang menjadi pendapatan itu menjadi domain lembaga keuangan syariah. Di antara model tersebut adalah besaran fee didasarkan pada besaran nilai taksiran emas yang menjadi objek gadai.

Di antara model penentuan biaya penyimpanan adalah nilai dasar harga emas dikali berat emas sehingga menghasilkan harga taksiran emas. Selanjutnya, taksiran tersebut dikali nilai keuntungan yang menjadi referensi dan menghasilkan ujrah yang harus dibayar oleh nasabah.

Maka besaran biaya penyimpanan itu adalah nominal tertentu dan berbeda besarannya sesuai dengan beratnya emas. Semakin besar beratnya emas maka biaya penyimpanannya juga semakin besar. Wallahu a’lam.

Baca Juga  Berbisnis Menggunakan Rekening Konvensional