Nuklir Keuangan itu Ternyata sebuah Koperasi!
Oleh : Iwan Rudi Saktiawan
Saat ini dunia sedang dihebohkan oleh perang Rusia – Ukraina. Kehebohan terjadi karena ada kekhawatiran perang tersebut tidak hanya sekedar antara dua negara tersebut, namun merembet menjadi peperangan antara sekutu-sekutu mereka sehingga menjadi perang dunia ke-3.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa yang merupakan sekutu Ukraina, sudah menunjukkan keterlibatnnya. Bahkan negara-negara tersebut telah meluncurkan nuklir keuangan ke Rusia dengan menendang bank-bank Rusia dari jaringan SWIFT.
Swift yang merupakan kepanjangan dari Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication adalah jaringan pengiriman pesan yang digunakan oleh bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengirim dan menerima informasi transaksi dengan cepat dan aman ke seluruh penjuru dunia. Mayoritas Lembaga keuangan dunia, yang diperkirakan lebih dari 11 ribu, telah bergabung di SWIFT. Pada tahun 2021, rata-rata lembaga keuangan tersebut mengirimkan 42 juta pesan per hari.
Dahsyatnya nuklir keuangan itu sudah mulai terasa. Setelah tertendang keluar dari SWIFT, di Rusia terjadi antrian panjang di ATM-ATM, kesulitan bertransaksi ke luar negeri dan jatuhnya mata uang rubel sebesar 40%. Mata uang asing pun menjadi sulit didapatkan di Rusia. Dengan peran penting SWIFT dalam transaksi antar bank antar negara, maka dapat dipahami dikeluarkannya bank-bank di Rusia dari SWIFT dapat memporak-porandakan perekonomian Rusia.
Tulisan ini tidak ingin mendalami perang Rusia – Ukraina ataupun tentang potensi perang dunia ketiga. Tulisan ini ingin menunjukkan suatu hal yang menarik tentang nuklir keuangan ini, yakni ternyata SWIFT Itu adalah sebuah koperasi. Ya, SWIFT adalah koperasi sekunder yang didirikan berdasarkan undang-undang koperasi Belgia.
Para pembaca dari Indonesia, bisa jadi tercengang dengan fakta ini bahwa senjata strategis dari sekutu Ukrania itu ternyata sebuah koperasi. Ketercengangan itu bisa dipahami karena selama ini koperasi dipandang dengan sebelah mata di Indonesia. Jangankan mendunia, apalagi bisa berdampak pada perekonomian negara lain, di Indonesia, bahkan koperasi banyak dipersepsi skala usahanya hanya sebesar UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah).
Memang, karena koperasi didirikan secara swadaya dan untuk kepentingan anggota yang kebanyakan berskala UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) sehingga wajar bila koperasi umumnya berskala kecil. Namun merujuk kepada koperasi-koperasi sukses dunia, strategi agar menjadi besar adalah dengan penyatuan koperasi-koperasi primer sehingga menjadi koperasi sekunder yang besar serta beroperasi professional dengan tetap menjaga visi – misi untuk pemberdayaan anggota dan UMKM.
International Co-operative Alliance (ICA) pada tahun 2020 merilis 300 koperasi terbesar dunia. Dari 5 besar dan 3 diantaranya bergerak di simpan – pinjam. Ketiga KSP tersebut adalah Groupe Credit Agricole (GCA) Perancis (beromset Rp1,42 kuadriliun), Groupe BPCE Perancis (beromzet Rp872,3 triliun) dan BVR Jerman (beromset Rp817 triliun). Ketiga KSP tersebut, tidak hanya beroperasi di negara asalnya, namun telah memiliki banyak di berbagai belahan dunia. GCA telah beroperasi di 48 negara dan termasuk 10 bank terbesar dunia.
ketiga KSP tersebut bukan koperasi primer, sebagai contoh Bundesverband der Deutschen Volksbanken und Raiffeisenbanken (BVR) dari Jerman, menaungi hampir seribu koperasi di Jerman. Dari ini data ini menunjukkan bhawa dengan bersatu maka bisa menjadi suatu lembaga keuangan besar kelas dunia meskipun merupakan koperasi. Bisa dibayangkan, bila ada lebih dari 1.000 koperasi simpan, pinjam dan pembiayaan (KSPPS) atau BMT yang Bersatu dalam suatu manajemen lembaga keuangan yang professional, maka di Indonesia akan ada lembaga keuangan berbasis koperasi yang berskala besar.
Sayangnya, berbeda dengan belahan dunia lainnya, di Indonesia yang banyak terjadi adalah sebaliknya. Ketika suatu koperasi sukses, beberapa pengurus atau tokoh senior di koperasi tersebut keluar dan mendirikan koperasi baru. Umumnya, setelah itu antar koperasi tersebut tidak terjadi kerjasama namun terjadi persaingan. Bisa jadi, fenomena ini menjadi salah satu penyebab mengapa koperasi di Indonesia kurang berkembang.
Selain fenomena kurang semangatnya untuk bersatu melalui koperasi sekunder namun malah cenderung yang terjadi adalah perpecahan, fenomena lain adalah umumnya koperasi sekunder di Indonesia lebih bersifat sebagai asosiasi tidak bersifat holding company. Daya rekat antar koperasi primer yang merupakan anggota koperasi sekunder di Indonesia umumnya kurang. Koperasi-koperasi primer bergabung dalam suatu koperasi sekunder, lebih bersifat formalitas saja, atau karena ada keperluan sesaat semisal untuk mendapatkan dana program. Namun koperasi-koperasi primer tersebut tidak dalam suatu aturan manajemen organisasi yang sama, yakni manajemen bisnis dalam suatu koperasi sekunder.
Belajar dari koperasi dunia yang sukses, koperasi sekunder memiliki peran yang besar dan strategis. Bisa disebutkan koperasi sekundernya lebih popular dibandingkan koperasi-koperasi primer anggotanya. Contohnya adalah Rabobank, yang merupakan bank berbasis koperasi primer. Anggota Rabobank, terdiri dari lebih dari seribu koperasi primer, yang nama-namanya relatif tidak popular, yang popular adalah Rabobank, koperas sekundernya.
Bila SWIFT sebagai koperasi bisa menjadi nuklir keuangan yang bisa memporak-porandakan Rusia, maka Indonesia pun seharusnya bisa memiliki nuklir keuangan dengan cara mengembangkan koperasi secara lebih maksimal lagi, salah satunya adalah membangun kesadaran kepada koeprasi-koperasi untuk bersatu membangun koperasi sekunder yang kuat, professional dengan tetap menjaga visi – misinya sebagai sebuah koperasi. Tentu saja nuklir keuangan tersebut bukan untuk menghancurkan negara lain namun untuk menghancurkan kemiskinan, sehingga Indonesia makin jaya.
***
Penulis adalah pengamat koperasi dan keuangan mikro, saat ini adalah Analis Kebijakan di Komite Nasional dan Ekonomi Syariah.