Mengurai Sesat Pikir Keuangan Mikro

Oleh: Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD

Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah

Terlahir sebagai orang Indonesia dan tinggal di Indonesia, tidak menjamin bebas dari salah kaprah berbahasa Indonesia. Sadara tau tidak, ternyata banyak kesalahkaprahan penggunaan Bahasa Indonesia, yang karena kesalahan tersebut sering terjadi atau berulang-ulang, untuk sebagian orang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang benar.

Salah satunya adalah frasa “haru biru.” Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa makna “haru biru” adalah kesedihan yang teramat sangat. Dengan pemahaman yang keliru ini, maka frasa tersebut digunakan pada kalimat,”Haru biru mewarnasi acara perpisahan kepala sekolah teladan yang dicintai oleh para guru dan murid-murid di SD Sukasari III”.

Maksud penggunaan “haru biru” pada kalimat tersebut adalah untuk menggambarkan suasana yang sangat mengharukan karena para guru dan murid harus berpisah dengan kepala sekolah teladan yang sangat mereka cintai. Namun teryata arti “haru biru” yang benar adalah “kekacauan”, “keributan”,atau “huru-hara.” Dengan demikian, bila memaknai “huru hara” dengan arti yang benar, kalimat itu justru menyatakan adanya huru hara pada acara tersebut bukan kesyahduan atau suasana penuh haru.

Demikian juga dengan keuangan mikro. Lamanya bergiat di keuangan seperti BMT atau koperasi simpan pinjam, tidak menjamin bebas dari kekeliruan memaknai keuangan mikro. Dengan segala kerendahan hati, penulis mencoba sharing beberapa kekeliruan atau sesat pikir terkait keuangan mikro.

Pengertian Keuangan Mikro

Mengawali mengurai sesat pikir tentang keuangan mikro, tulisan ini diawali dengan menyajikan beberapa definisi tentang keuangan mikro.

The Foundation for Development Cooperation (2007) memaparkan batasan keuangan mikro sebagai berikut:

Microfinance refers to the provision of financial services, primary savings and credit, to poor households which do not have access to formal financial institutions.

Sedangkan International Management Communications Corporation (IMCC) mengartikan keuangan mikro sebagai berikut :

Microfinance is a set of non-traditional banking techniques and methodologies used to expand access to sectors deprived of formal financial services.

Dua definisi singkat tersebut mendefinisikan keuangan mikro sebagai penyediaan layanan keuangan bagi pihak yang selama ini tidak bisa mengakses kepada lembaga formal.   IMCC menjelaskan lebih lanjut bahka keuangan mikro memiliki teknik dan metodologi yang berbeda dengan lazimnya perbankan agar akses tersebut menjadi mungkin.

Salah satu lembaga kajian terkenal di Indonesia yakni SMERU (Social Monitoring and Early Response Unit) memberikan definisi yang lebih panjang tentang keuangan mikro sebagai berikut:

Keuangan mikro adalah penyediaan berbagai bentuk pelayanan keuangan – termasuk di antaranya kredit, tabungan, asuransi dan transfer uang – bagi orang atau keluarga miskin atau berpenghasilan rendah, dan usaha mikro mereka.

Baca Juga  Sumbangsih Koperasi Syariah dalam Mendorong Perekonomian Masyarakat

Definisi ini memberikan penekanan pada perluasan bentuk layanan keuangan yang sebelumnya lebih banyak diasosiasikan dengan kredit mikro saja, dan pada target pelayanan yaitu masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah. Ada dua ciri utama keuangan mikro yang membedakannya dari produk jasa keuangan formal, yaitu kecilnya pinjaman dan/atau simpanan, dan/atau tidak adanya jaminan dalam bentuk aset.

Definisi yang cukup panjang juga bisa dilihat definisi CGAP (Consultative Group to Assist the Poor) dalam situsnya findevgateway.org, suatu situ yang sering dikutip terkait keuangan mikro:

“Microfinance is the provision of financial services to low-income people. It refers to a movement that envisions a world where low-income households have permanent access to high-quality and affordable financial services to finance income-producing activities, build assets, stabilize consumption, and protect against risks. Initially the term was closely associated with microcredit—very small loans to unsalaried borrowers with little or no collateral—but the term has since evolved to include a range of financial products, such as savings, insurance, payments, and remittances.

Microfinance institutions and other financial service providers have worked over the past decades to develop products and delivery methods to meet the diverse financial needs of low-income people. For example, unlike other forms of lending, microcredit loans use methodologies such as group lending and liability, pre-loan savings requirements, and the gradually increase in loan sizes to evaluate clients’ credit worthiness. Microfinance providers today continue to improve their understanding of the financial needs of their target clients and tailor their products and methodologies accordingly.”

Dua definisi tersebut menguraikan lebih luas tentang definisi keuangan mikro. Baik SMERU maupun CGAP menjelaskan bahwa layanan keuangan mikro bukan hanya sebatas kredit, meskipun dari sisi sejarah, gerakan keuangan mikro awalnya dari kredit mikro. Pada definisi CGAP disebutkan tentang tentang permanent access yang menunjukkan bahwa keuangan mikro bukan suatu program hit and run namun didisain berkelanjutan.

Definisi-definisi tentang keuangan mikro banyak, relatif tidak ada yang baku,namun memiliki substansi yang sama yakni keberpihakan dan pemberdayaan (empowerment) kalangan berpenghasilan rendah, kesinambungan, aneka layanan dan tidak terkait dengan skala usaha lembaga penyelenggaranya.

Insaf Dari Sesat Pikir

Dengan mencermati beberapa definisi keuangan mikro, maka kita bisa mengurai  sesat pikir, diantaranya sebagai berikut:

  1. Sesat pikir: keuangan mikro hanya kredit mikro. Harus diakui bahwa gerakan keuangan mikro awalnya memang tentang kredit/ pembiayaan mikro. Namun perkembangannya, layanan keuangan mikro merambah luas, karena masyarakat miskin memerlukan jenis yang luas tidak sekedar pinjaman/pembiayaan saja. Saat ini bentuk-bentuk layanan keuangan mikro selain pinjaman/pembiayaan adalah simpanan, pengiriman uang, asuransi, dan lain-lain.
  2. Sesat pikir: keuangan mikro bersifat belas kasihan dan temporer (sementara). Wujud sesat pikir itu misalnya adalah adanya program-program kredit mikro yang tidak menargetkan bahwa kredit itu bisa dikembalikan serta tidak tidak didisain agar program tersebut bisa menghasilkan pendapatan yang bisa menghidupi program tersebut secara berkelanjutan. Padahal yang benar adalah bahwa keuangan mikro adalah upaya pengentasan kemiskinan dalam waktu waktu jangka panjang dan keberlanjutan (sustainable). Merupakan hal yang keliru bila keberlanjutan program atau institusi keuangan mikro  (IKM) mengandalkan bantuan apalagi dana pemerintah secara terus-menerus. IKM harus bisa hidup secara berkelanjutan dari pendapatan yang bersumber dari pengembalian pinjaman/pembiayaan yang lancar.
  3. Sesat pikir: keuangan mikro satu-satunya cara pengentasan kemiskinan. Meskipun banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keuangan mikro berperan dalam pengentasan kemiskinan, namun bukan terarti keuangan mikro satu-satunya cara. Keuangan mikro hanya salah satu dari banyak pendekatan pengentasan kemiskinan. Ia harus didukung pendekatan lain yang multidimensional. Implementasi pengentasan kemiskinan tidak sekedar memberikan pinjaman/pembiayaan, namun harus dengan pendekatan lain seperti pendidikan mental, perencanaan keuangan dan sebagainya.
  4. Sesat pikir: institusi keuangan mikro ukurannya mikro. Mendefinisian keuangan mikro dari ukuran lembaga penyelenggara layanan keuangannya merupakan suatu sesat pikir. Padahal definisi keuangan mikro adalah menyangkut target pelayanannya, yakni masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah bukan tentang lembaganya yang berukuran mikro. Yang benar justru sebaiknya, IKM sebaiknya atau ditargetkan harus berukuran besar agar efisien sehingga biaya dana yang ditanggung oleh pengusaha mikro menjadi ringan.  Selain itu IKM yang besar memungkinkan adanya program pemberdayaan yang lebih luas dan efektif untuk pengusaha mikro.
  5. Sesat pikir: mengejar kuantitas jumlah IKM. Karena tersesat pemikirannya dengan pemahaman bahwa IKM adalah lembaga yang berskala mikro, maka kesesatan berikutnya adalah pembuatan program-program keuangan mikro berorientasi memperbanyak kuantitas bukan kualitas IKM. Fokus pada kuantitas IKM namun kualitasnya rendah (misalnya asetnya kecil) justru merugikan masyarakat berpenghasilan rendah yang dilayaninya karena pelayannnya akan terbatas, termasuk berkemungkinan besar tidak bisa berkelanjutan. Sedangkan bila berorientasi pada kualitas IKM, makla akan mendukung pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini karena akan dilayani oleh IKM yang berkinerja keuangan yang sehat, beraset besar dan memiliki kualitas layanan yang baik.
Baca Juga  Mengungkap Keajaiban Zakat: Solusi Pengentasan Kemiskinan yang Terbukti Sukses Sejak Zaman Khalifah

Semoga sesat pikir seperti memaknai keliru frasa “haru biru” tidak terjadi pada pemaknaan keuangan mikro. Dengan pikiran yang tidak tersesat, insya Allah program yang dilaksanakan tentang keuangan mikro tidak akan tersesat pula. Dengan demikian diharapkan IKM atau prorgram keuangan mikro yang dijalankan bisa  berkontribusi maksimal bagi pemberdayaan pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah.