Fatwa DSN MUI Terbaru Sebagai Peluang Pengembangan Koperasi Syariah
Saat ini para pengurus dan pengelola koperasi sedang pusing tujuh keliling. Hal ini gara-gara terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Koperasi dan UKM nomor 09 tahun 2021 tentang Pengawasan Koperasi. Aturan baru ini relatif lebih rumit, banyak isian dan dokumen yang perlu disiapkan dibandingkan dengan aturan sebelumnya.
Kerumitan itu ada, nampaknya karena Kementrian Koperasi dan UKM tengah melakukan penyempurnaan dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya. Salah satu bentuk penyempurnaan, diantaranya dengan adanya antisipasi masa yang akan datang melalui penilaian profil risiko, sehingga tidak hanya menilai kondisi kekinian (kinerja keuangan, tata kelola dan kelembagaan).
Salah satu bentuk stimulant agar koperasi memiliki antisipasi risiko yang baik, pada permen tersebut permodalan mendapat perhatian yang cukup besar. Hal ini bisa dilihat baik dari sisi bobot, maupun dari cara penilaiannya. Meskipun bagian dari peningkatan antisipasi risiko, pembobotan yang besar pada aspek permodalan dikritik sangat terpengaruh oleh sistem penilaian kesehatan perbankan.
Perbankan, karena menghimpun dana pihak ketiga (masyarakat) berbentuk deposito dan tabungan, menjadikan proporsi dana sendiri (modal) menjadi penting. Dengan kata lain, bila suatu bank modal dan dana pihak pihak ketiga porsinya kurang dari aturan, maka bank tersebut berisiko tinggi.
Koperasi memiliki perbedaan. Koperasi tidak diperkenankan menghimpun dana dari luar anggota. Meskipun koperasi boleh menghimpun dana yang bukan modal, yakni dana yang bisa diambil kembali berbentuk simpanan sukarela dan simpanan berjangka, koperasi menghimpunnya dari para pemilik koperasi (anggota), bukan masyarakat non anggota (dana pihak ketiga). Kalaupun ada yang bersumber dari “luar” maka itu berbentuk modal pinjaman atau modal penyertaan. Namun dua hal tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian sehingga penarikan oleh pemiliknya tidak seperti simpanan sukarela ataupun simpanan berjangka.
Meskipun koperasi dan perbankan memiliki perbedaa dari jenis dana “di luar dana sendirinya”, bagaimana juga permodalan yang kuat akan menjadikan koperasinya sehat. Dengan kata lain, adanya permodalan yang kuat pada suatu koperasi bukanlah hal yang salah malah merupakan hal yang baik.
Mungkin akan ada yang berkata,”Oke dech, meski terpengaruh konsep perbankan, tetapi permodalan yang makin kuat akan menjadikan koperasi lebih sehat. Tapi dari mana koperasi menambah modalnya? Koperasi, kan umumnya beranggotakan masyarakat lapis bawah atau UMKM dengan dana terbatas?”
Benar. Anggota koperasi umumnya memiliki dana yang terbatas. Saat ini permodalan koperasi umumnya bernominal kecil dengan bentuk simpanan pokok dan simpanan wajib. Simpanan pokok adalah setoran modal anggota yang dilakukan hanya sekali saat menjadi anggota, sedangkan simpanan wajib adalah setoran modal yang wajib disetor sebulan sekali.
Mayoritas suatu koperasi mengupayakan nominal simpanan pokok dan simpanan wajibnya tidak besar. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan masyarakat menjadi anggota koperasi karena salah satu ciri koperasi yang sehat dari sisi kelembagaan adalah yang mudah diakses oleh masyarakat. Bila simpanan pokok dan simpanan wajib nominalnya besar, maka masyarakat akan menjadi sulit menjadi anggotanya atau dengan kata lain menjadi koperasi yang eksklusif. Dengan mengandalkan simpanan pokok dan simpanan wajib yang nominalnya kecil sebagai sumber permodalan, maka modal yang dihimpun oleh mayoritas koperasi tidak besar.
Lalu, solusinya apa?
Alhamdulillah pada tanggal 24 Agustus 2021, telah berhembus angin segar bagi koperasi Syariah (kopsyah). Hal ini dengan telah diterbitkannya fatwa DSN MUI nomor nomor 141/DSN-MUI/VIII/2021 tentang Koperasi Syariah. Disebut adanya angin segar, karena fatwa tersebut mendukung adanya bentuk baru penambahan permodalan bagi kopsyah.
Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa wakaf bisa menjadi sumber permodalan koperasi Syariah. Hal ini ada pada bagian kelima fatwa tentang “Ketentuan Permodalan Usaha.” Pada bagian kelima fatwa tersebut disebutkan bahwa modal sendiri koperasi syariah pada butir (2.e) dapat bersumber dari manfaat wakaf (koperasi sebagai mauquf ‘alaih). Selain itu pada butir (4.e) disebutkan bahwa kopsyah dapat menghimpun sumber permodal dari luar sebagai bagian (dari manfaat wakaf) yang menjadi hak koperasi syariah sebagai nazhir.
Hal ini berbeda dengan perbankan. Bank boleh menerima dana wakaf uang, namun statusnya adalah titipan dari nazhir (pengelola wakaf), pihak lain. Dana wakaf yang disimpan di Bank tidak boleh diakui sebagai modal bank, kewenangan penggunaan tidak pada bank namun pada nazir pemillik rekening di bank tersebut. Bank tidak boleh menjadi nazhir ataupun penerima manfaat dana wakaf uang (mauquf alaih). Hal ini berbeda dengan kopsyah yang diperkenankan merangkap menjadi nazhir, tentu saja dengan syarat dan ketentuan tersendiri. Oleh karenanya koperasi bisa melakukan program mendayagunakan dana wakaf uang Ketika bertindak sebagai nazhir.
Dengan demikian, maka koperasi syariah telah mendapatkan tambahan bentuk sumber permodalan. Ini merupakan suatu peluang yang besar, karena Badan Wakaf Indonesia (BWI) pernah merilis bahwa potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar mencapai Rp 180 triliun setiap tahunnya.
Hal ini tentu seharusnya bisa menambah motivasi koperasi syariah untuk lebih berkembang. Persepsi sebelumnya harus diubah bahwa kegiatan penghimpunan dan pendayagunaan wakaf uang bukan hanya sebatas motif sosial koperasi syariah. Persepsi sebelumnya hanya menyatakan bahwa makin banyak wakaf uang terhimpun dan terdayagunakan, berarti kepedulian sosialnya makin bagus. Motif ini sudah bagus. Namun dengan adanya fatwa terbaru ini, motivasinya bisa bertambah lagi karena bisa dicatat sebagai penambah tingkat kesehatan suatu koperasi. Makin banyak dana wakaf uang yang dihimpun, maka makin sehat suatu koperasi karena permodalannya makin kuat.
Tentu fatwa tersebut tidak otomatis menjadikan wakaf uang yang dihimpun oleh koperasi bertambah. Perlu ikhtiar maksimal dari koperasi agar wakaf uang yang dihimpunnya banyak. Namun setidaknya, ini merupakan peluang, atau jalannya sudah terbuka lebar.
Semoga fatwa terbaru ini bisa menjadi obat pusing tujuh keliling koperasi karena adanya Permen tentang Pengawasan Koperasi. Semoga pula menjadi sarana meningkatkan kinerja perkoperasian dalam mengatasi turunnya perekonomian yang terdampak Covid 19.