Berkoperasilah yang Benar, Maka Otomatis Sudah Berkoperasi Syariah, Benarkah?

Oleh: Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD

Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah

“Gak usah pake konversi ke syariah segala. Bila suatu koperasi benar-benar melaksanakan seperti apa yang diamanatkan oleh Bung Hatta, maka sudah pasti koperasi itu sesuai syariah.”ungkap salah seorang tokoh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) di sebuah kota. Ia mengungkapkan itu karena resah, beberapa pengurus dan anggota koperasi di kota tersebut ingin mengkonversi koperasinya menjadi koperasi syariah. Ia berpendapat bahwa bila suatu koperasi sudah dijalankan sesuai dengan prinsip dan jati diri koperasi, maka koperasi tersebut sudah pasti sesuai syariah.  Benarkah demikian?

Untuk menjawab hal tersebut tulisan ini diawali dengan informasi beberapa koperasi  pelopor dunia, yang berasal dari negara-negara terkemuka di bidang perkoperasian.  Salah satunya adalah koperasi yang didirikan oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen pada tahun 1868 di Mayschoss Jerman. Anggota koperasi tersebut adalah petani anggur dan penghasil minuman keras dari anggur. Koperasi-koperasi anggur berkembang pesat di Jerman, klebih sepertiga minuman anggur di Jerman, berasal dari koperasi-koperasi tersebut.

Di Denmark, salah satu koperasi papan atas adalah Danish Crown Slaughterhouse.  Sedemikian besarnya, koperasi tersebut tidak hanya merambah di pasar lokal (Denmark), bahkan pangsa pasarnya sudah mencapai 130 negara. Apa komoditi dari koperasi tersebut? Komoditi utamanya adalah babi.

Jerman dan Denmark, merupakan negara-negara yang maju perkoperasiannya, bahkan di Jerman 1 dari 4 penduduknya adalah anggota koperasi. Bila ingin mengetahui koperasi maju yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip dan jati diri koperasi belajarlah ke Jerman dan Denmark. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi koperasi-koperasi di negara-negara tersebut sudah mengikuti prinsip perkoperasian yang benar, sesuai prinsip dan jati diri koperasi.  Namun, tanpa perlu kajian fiqh pun kita akan segera tahu bahwa koperasi-koperasi tersebut tidak sesuai syariah. Dengan demikian, terbukti, menjalakan koperasi sesuai prinsip dan jati diri koperasi, belum tentu sesuai syariah.

Baca Juga  Belajar Dari Koperasi Besar

Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu hanya terjadi luar negeri. Namun ternyata, koperasi yang bergerak di ternak babi dan minuman keras pun, ada di Indonesia. Koperasi peternak babi tidak hanya ada di daerah yang mayoritas penduduknya nonmuslim seperti NTT dan Bali, di Jogjakarta pun banyak. Hal ini misalnya, ada pada berita di detik.com pada tahun 2009, yang menyatakan bahwa bila ada penutupan ternak babi akibat flu burung dapat mengakibatkan kerugian sebesar Rp25 T.

Dengan contoh koperasi-koperasi tersebut maka kita bisa paham bahwa berkoperasi yang dijalankan dengan benar sesuai prinsip-prinsip koperasi belum pasti syariah. Untuk menjadi koperasi yang sesuai syariah Islam perlu ada aturan dan pelaksanaan yang lain selain pelaksanaan prinsip dan jati diri koperasi. Hal-hal lain itu diantaranya adalah wajibnya komoditas serta produk/jasa layanannya halal, akad-akadnya sesuai syariah serta system operasionalnya sesuai syariah.  Sedangkan untuk anggota, pengurus dan pengawasa, boleh nonmuslim meskipun pada suatu koperasi syariah.  Semua hal tersebut tercantum secara tertulis minimal pada anggaran dasarnya. Lebih baik lagi tertulis pada standar operasional prosedu (SOP) dan aturan-aturan lainnya.

Pada suatu acara pelatihan ada peserta yang bertanya kepada penulis,”Ustadz, koperasi konsumen kami tidak menjual barang-barang haram, serta tidak melakukan hal-hal terlarang dalam Islam seperti mengurangi timbangan, kecurangan, korupsi dan lain-lain. Apakah koperasi kami sudah syariah?”

“Apakah larangan melakukan hal-hal yang haram serta menjual barang-barang haram ada secara tertulis pada AD atau ART koperasinya?”saya balik bertanya.

“Tidak ada ustadz,”peserta tersebut menjawab pertanyaan saya.

“Dengan demikian, memang untuk saat ini koperasinya sudah syariah, karena tidak ada komoditas yang haram dan tidak melakukan hal-hal yang melanggar syariah, meskipun pada nama koperasinya tidak dicantumkan kata syariah” jawab Saya.

Kemudian saya menambahkan, meskipun saat ini sudah sesuai syariah, namun karena belum dicantumkannya secara tertulis larangan komoditi dan aktivitas haram, maka koperasi tersebut belum membuat suatu jaminan atau antisipasi agar pada kepengurusan yang lain (selanjutnya) bisa tetap sesuai syariah. Selain itu penambahan kata “syariah” pada nama koperasi (KSPPS atau LKMS) diperlukan bukan sekedar label atau agar terlihat keren, namun dengan adanya pelabelan pada koperasinya tersebut maka akan ada konsekuensi koperasinya wajib menerapkan prinisp-prinsip syariah dengan benar. Ketika pengurus berikutnya tidak menjalankan syariah Islam, maka bisa ditegur karena menggunakan nama koperasi syariah serta di AD dan ART-nya ada aturan-aturan syariah.  Namun bila nama koperasinya misalnya KSP bukan KSPPS atau LKM bukan LKMS, maka yang salah itu justru yang menegur.

Dengan alur pikir tersebut, maka diperlukan adanya Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), dan seterusnya yang mengatur tentang koperasi syariah, untuk menjaga dan memastikan bahwa koperasi syariah dijalankan sesuai dengan syariah Islam. Ketika ada pemeriksaan dari dinas koperasi-UKM misalnya, maka petugas akan memeriksa suatu koperasi merujuk kepada aturan yang ada. Bila aturan yang ada tidak mengakomodir syariah, maka tidak ada kewajiban suatu koperasi diawasi untuk tetap sesuai syariah.

Diperlukannya aturan-aturan yang mengatur koperasi syariah karena bila hanya mengandalkan pengawasan dari internal, yakni rapat anggota, pengawas dan dewan pengawasan syariah tidak cukup. Sering terjadi permasalah pelaksanaan syariah berasal dari tokoh di suatu koperasi sehingga rapat anggota, pengawas dan dewan pengawasan syariah segan untuk meluruskannya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila suatu koperasi sudah menjalankan prinsip dan jati diri koperasi maka otomatis sudah syariah. Suatu koperasi yang konvensional harus dikonversi ke koperasi syariah termasuk AD, ART dan aturan-aturan lainnya agar koperasi tersebut bisa terjaga tetap syariah tidak terbatas pada periode kepengurusan tertentu saja.

   Iwan Rudi Saktiawan, SSi, MAg, CIRBD (Pakar Keuangan Mikro dan Koperasi Syariah)